Ujian Nasional (UN) ternyata sudah menjadi komoditas politik karena Pemerintah Daerah kini berlomba-lomba untuk meningkatkan angka kelulusan UN agar dianggap berhasil dan dijadikan alat kampanye pilkada berikutnya.
“UN sekarang sudah jadi komoditas politik, hanya mengejar jumlah siswa lulus saja. Bahkan kepada daerah, sekolah dan guru menjadikan angka kelulusan ini sebagai patokan keberhasilan,” jelas Rohmani, , anggota Komisi X DPR RI, Senin (22/11) kemarin.Padahal kajian yang dilakukan oleh panitia Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2010, menunjukkan bahwa nilai UN tidak mencerminkan kesiapan peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi atau bekerja.
Menurut Rohmani, karena sudah menjadi komoditas politik menyebabkan setiap tahunnya tetap terjadi praktik kecurangan saat UN seperti pembocoran soal ujian dan guru memberi kunci jawaban kepada muridnya. Di sisi lain, tidak sedikit pemerintah daerah membiarkan kecurangan tersebut.
Dia pun khawatir dengan perilaku mereka yang menghalalkan segala cara untuk meluluskan siswanya. Karena perilaku ini akan menggeser paradigma pendidikan yang seharusnya menekankan pada aspek proses menjadi hanya kepada aspek hasil.
Rohmani juga mengaku heran dengan sikap pemerintah yang terus memaksakan UN. Padahal, DPR telah meminta pemerintah untuk merubah model UN agar tidak menjadi penentu kelulusan.
“Kami di komisi X DPR RI telah berkali-kali meminta pemerintah untuk merubah model UN yang sekarang, tetapi entah mengapa tidak pernah digubris dan terus memaksakan model UN itu diterapkan,” ungkapnya.
Dia pun menyarankan agar yang menentukan kelulusan siswa diserahkan langsung kepada sekolah karena sekolah dianggap lebih bisa mengetahui keberhasilan pembelajaran siswanya. Dengan begini, tujuan pendidikan akan lebih tercapai.